Selasa, 27 April 2010

Padamu Negeri : Jiwa Raga Kami

Sabtu siang, 6 Februari 2010, saya stranded di Bandara Achmad Yani, Semarang, setelah selesai melakukan kunjungan ke STEM- AKAMIGAS, Cepu. Pesawat ke Jakarta terlambat 25 menit yang justru memberi kesempatan untuk menikmati rasa Kopi Luwak di lounge bandara. Rasa kopi cap Luwak memang masih nyamleng seperti puluhan tahun lalu, dan disana saya ketiban-ndaru karena tiba-tiba bertemu seseorang yang selama ini sering membuat saya terheran-heran karena banyaknya inisiatif yang dia buat. Dia adalah Profesor Yohanes Surya PHd, seorang fisikawan lulusan Virginia, Amerika Serikat. Prof Yohanes duduk semeja dengan saya, meskipun ketika saya tawari minum kopi, dengan halus dia menolak. Debutnya mencetak peraih-peraih medali dan piala di ajang Olimpiade ilmu Internasional sudah sering kita dengar, tapi cerita tentang inisiatifnya yang baru, belum banyak didengar orang. Dengan persetujuan orang tua, sekolah dan pemda, dia merekrut 27 anak Papua yang prestasi akademisnya "biasa-biasa" saja untuk digembleng menjadi ilmuwan Fisika dan atau Matematika dengan program yang khusus untuk itu. Dia memberi nama Papua Centre for Education atau Program Anak Papua untuk Pendidikan. Anak-anak yang berasal dari Kabupaten Tolikara, Waropen, Sorong Selatan, Lani Jaya dan Wamena itu ternyata menunjukkan prestasi yang luar biasa. Setelah sepuluh bulan berlalu, mereka membuktikan bahwa ternyata Matematika bukan suatu pelajaran yang sulit, sangat mudah untuk dicerna dan bahkan sangat asyik. Kuncinya adalah ia harus disajikan menarik dengan ilustrasi yang kontekstual. Tidak hanya itu, mereka juga dibekali dengan pelajaran Bahasa Inggris, Komputer dan Character Building. Merlin dan Christian adalah siswa yang paling menonjol dalam kelas itu. "Saya ingin menjadi profesor matematika", ujar mereka seperti yang ditirukan Prof Yohanes kepada saya. Kami ngobrol ngalor-ngidul cerita heroik, terutama tentang Papua. Tak terasa kami sudah dipanggil untuk boarding masuk kedalam pesawat. Tetapi dia masih memberi bekal kepada saya sambil jalan menuju ke pesawat, "Pak, tidak ada anak yang bodoh, yang ada adalah anak yang tidak interes kepada suatu atau beberapa bidang", demikian Prof Yohanes menutup pembicaraan kami dengan kata-kata yang sedikit filosofis.

Sambil menanti pesawat take off, timbul banyak pertanyaan dibenak saya. "Darimana dia mendapat dana untuk itu semua?". "Mengapa dia tertarik melakukan charity untuk sesuatu yang secara finansial tidak mendampakkan return?". "Mengapa Papua?". "Apa motivasi terdalam di hatinya untuk melakukan itu semua?". Ada beberapa tokoh lain yang juga kesengsem Papua. Entah masyarakatnya, budayanya, alamnya dan bahkan pakaian tradisionalnya. Mereka melakukan apa saja untuk mengangkat derajat Papua. Dedikasi total, yang sering tidak bisa dihitung dengan nalar sehat manusia normal. Salah satu diantaranya adalah Dokter John Manansang. Seorang dokter umum lulusan FKUI, yang lahir dari bapak asal Cirebon dan ibu Sangihe Talaud telah melakukan tugas seorang dokter melebihi apa yang seharusnya dilakukan, di Asmat dan Timika, Papua. Dokter John, dengan dana kesehatan yang sangat minimal, fasilitas seadanya, dan kondisi geografis yang tidak kondusif, telah melakukan praktek kedokteran diluar teori kedokteran umum, seperti memahat sendi lutut dengan pahat kayu dan martil, operasi sesar dengan silet cukur, amputasi tangan dengan gergaji kayu dan praktek-praktek impossible yang terkesan menyeramkan. Dia melakukan itu semua bukan karena gagah-gagahan atau mencari uang tak halal, tapi semata-mata karena keterdesakan situasi antara keadaan pasien yang gawat dan harus segera ditolong dan keterbatasan dana, fasilitas kedokteran dan geografis Papua yang masih sangat virgin. Meskipun memberi yang terbaik buat masyarakat Papua, Dokter John justru sering disalah sikapi oleh teman-teman seprofesi dengan dalih malpraktek, melawan hukum atau mencari popularitas. Padahal, pengabdiannya tulus dan tanpa pamrih apapun, melainkan bagi pengabdian kemanusiaan semata-mata.


Pastor Johanes Jonga Pr juga merupakan tokoh non Papu yang mengabdi di tanah Papua. Baru-baru ini, Romo kelahiran Flores ini, dicatat telah memberikan hidupnya untuk dedikasinya dalam memperjuangkan hak asasi masyarakat Papua. Dia melawan segala penindasan yang dialami masyarakat Papua, baik yang berasal dari pemerintahan, perusahaan-perusahaan besar, militer atau polisi dengan sepenuh hati. Untuk itu, Romo Jonga mendapat Yap Thiam Hien Award 2009, atas jasa-jasanya. Todung Mulya Lubis, sebagai Ketua Dewan Juri Yap Thiam Hien Award, menyatakan bahwa Romo Jonga sangat layak mendapat kehormatan ini, bahkan sejak beberapa tahun yang lalu. Kami terlambat menganugerahinya, ketika dia sudah melakukan begitu banyak advokasi bagi rakyat Papua. Semua orang terhenyak dan heran. Kembali bertanya-tanya mengapa dia mau melakukan itu semua. Aksi-aksi yang sering membawa dia kedalam pertarungan head to head dengan penguasa, membawa dia untuk mempertaruhkan nyawanya setiap nafas dihirupnya. Papua, raksasa yang masih tidur, memang memerlukan pahlawan tanpa imbalan, pahlawan tanpa perhitungan yang memberikan dirinya untuk tidak mendapat apa-apa.


Cerita mengenai Papua akan saya tutup dengan kisah perjumpaan saya dengan Bupati Merauke, John Gluba Gebze, di Aula Timur ITB, 23 Januari 2010, pukul 07.30, saat sama-sama menunggu acara penganugerahan Doktor Kehormatan bagi Ir Arifin Panigoro. Saya terlibat diskusi yang asyik dengan pria berperawakan tinggi besar, berkulit gelap dan rambut ikal kecil-kecil, namun sangat ramah. Dia menceritakan liku-liku perkenalan dengan pak AP, demikian dia menyebut pak Arifin Panigoro dengan lebih akrab. Dimulai dari keprihatinan mereka berdua terhadap kelangkaan dan bahkan krisis nasional energi dan pangan. Mereka sepakat untuk memulai dengan 1 juta hektar tanah di Merauke, Papua dan menamai program itu sebagai "Merauke Integrated Food and Energy Estate" (MIFEE). MIFEE akan menjadikan Merauke sebagai Brazil kedua untuk mengikuti kesuksesan menjadikannya lumbung pangan dan sumber energi secara integrated. Mereka bersama-sama sedang membudidayakan tanaman kedelai, jagung, tebu dan sorgum, tanpa merusak alam. Saya tidak mengikuti angka-angka yang diucapkan pak John, karena kami sudah harus segera memasuki Aula Barat untuk mengikuti acara resmi. Tapi Papua selalu menarik tidak hanya bagi saya, tetapi juga bagi seluruh bangsa Indonesia, karena ia akan menjadi masa depan kita. Masa depan bangsa Indonesia. Saya teringat penggalan orasi pak Arifin ketika menutup pidato ilmiahnya dengan mengutip seorang pujangga Jerman,



Dengan cinta setia sampai akhir hayatku


Aku bersumpah dari lubuk kalbuku


Bahwa jasadku dan apa milikku


Kupersembahkan padamu, wahai tanah airku.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar