Selasa, 27 April 2010

Trust, Speed And Cost

Ada teka-teki, yang saya yakin anda pasti bisa menjawabnya. Tentang seorang pengusaha pribumi, sukses dari bawah, senior, nyentrik, sangat informal, selalu melecehkan teori managemen, dan bergerak dibidang eceran bahan makanan dan makanan. Anda benar, dia adalah Bob Sadino atau lebih akrab dipanggil om Bob. Banyak cerita unik, lucu dan orisinal yang sering didengar tentang om Bob, termasuk kisah ketika dia diusir petugas protokol DPR, karena memakai celana pendek dan sandal jepit, padahal dia sedang dipanggil DPR untuk acara resmi dengar-pendapat. Itulah om Bob, yang anehnya sangat disegani oleh anak buahnya karena sederhana, lugas dan jujur.


Satu cerita tentang keberhasilan om Bob pada waktu mendirikan perusahaannya yang pertama, menarik untuk disimak. Sepulangnya dari Belanda, karena malas untuk menjadi pekerja seumur hidup di negeri orang, om Bob menjual 1 dari 2 mobil mercedes tuanya, untuk dijadikan modal usaha. Seorang teman karib menasehatinya untuk berniaga telur ayam negeri. Pada waktu itu, sekitar tahun 1967, Jakarta hanya mengenal telur ayam kampung, yang meskipun lebih gurih, tetapi mempunyai keterbatasan jumlah produksi. Om Bob mulai dengan 50 ekor ayam negeri dan memeliharanya dengan berbekal cerita sang teman. Ternyata usahanya diminati masyarakat ekspatriat yang baru mulai berdatangan ke Jakarta. Bob Sadino kemudian memperluas dagangannya dengan juga menjual daging ayam potong, dengan sistem door to door service. Begitulah dia merintis bisnisnya, sedikit demi sedikit, berkembang terus, hingga saat ini om Bob sudah memiliki PT Boga Catur Rata, yang membawahi PT Kem Foods (pabrik sosis dan daging ham), PT Kem Farms (kebun sayur) dan tentu saja PT Kem Chics (kepanjangan dari Kemang Chicken – supermarket bahan makanan dan makanan, yang menjadi kegemaran para ekspatriat), yang mempunyai ratusan pekerja. Lalu dimana istimewanya cerita om Bob ini?



Cerita yang menarik terjadi ketika om Bob baru mempunyai belasan pekerja. Mereka bekerja dalam suatu tim yang kompak, yang layaknya dimiliki oleh suatu keluarga. Om Bob menganggap bawahannya sebagai anak-anak, sedangkan mereka memanggil bosnya dengan sebutan om. Omzetnya belum tinggi, sedangkan operasi perusahaan belum rumit. Sistem akuntasi yang dipakai juga masih sederhana dan inilah uniknya, om Bob mengatakan kepada “anak-anaknya” bahwa mereka tidak mendapat gaji, tetapi boleh mengambil sendiri sejumlah uang untuk hidup secara layak. “Lihat di catatan pembukuan, berapa banyak penjualan pada bulan ini, berapa kas yang ada, dan silakan ambil sesuai dengan kepantasan anda masing-masing, sesuai dengan usaha yang telah anda keluarkan pada bulan ini, dan catat berapa yang diambil”, begitu kira-kira om Bob berbicara kepada semua anak buahnya. Anehnya, kebiasaan ini berjalan begitu saja, untuk beberapa saat, tanpa iri, tanpa ada anak buah yang mengambil kesempatan dalam kesempitan dan tanpa terjadi kehilangan kas. Mereka, nyata-nyata tahu diri, dan menempatkan dirinya sesuai dengan apa yang seharusnya diperolehnya. Ada semacam self regulation yang bergulir secara alamiah, sampai tentunya kesederhanaan perusahaan sudah tidak memungkinkan lagi. Ketika ada yang bertanya kepada om Bob, apa kunci dari keberhasilan cara ini, dia menjawab singkat : “Trust”.





Cerita diatas memang aneh. Sangat aneh. Cerita seperti ini bisa terjadi di zaman kini dan lebih-lebih di Indonesia. Trust memang sesuatu hal yang sulit muncul, apalagi ketika dunia memasuki era informasi yang memaksa orang untuk memacu competitiveness semakin ketat. Celakanya, budaya yang hidup di Indonesia justru distrust. Ketika naik ke kelas 6 SD, saya diminta pak guru untuk mulai mencoba membuat tanda tangan. Sebelum mulai mencobanya, pak guru wanti-wanti memberi pesan kepada kami, “Buatlah tanda tangan yang sulit ditiru, bikinlah yang rumit dan jangan sampai terbaca orang”. Pada waktu itu, kami, murid kelas 6 SD, menganggap bahwa perintah pak guru sangat masuk akal. Kini saya baru sadar bahwa perintah yang kelihatannya make sense, ternyata mengandung konsep distrust. Suatu anggapan bahwa kita sedang dan akan selalu diancam pemalsuan tanda tangan. Padahal konon, perbankan di Amerika mensyaratkan agar tanda tangan sesorang harus mudah dibaca. Bukan agar gampang ditiru, tetapi untuk memudahkan petugas memeriksa keasliannya, dibandingkan nama lengkap. Suatu pemikiran yang tidak dilandasi oleh kecurigaan, karena adanya trust.



Ketika sambungan telepon-kabel masih menjadi primadona untuk kelengkapan perumahan di kota-kota besar di Indonesia, orang setengah mati memenuhi syarat administrasi agar line telepon bisa dipasang di rumahnya. Bahkan deposit uang harus dibayarkan, yang katanya untuk mencegah abuse yang terjadi pada pemakaian telepon. Herannya, masyarakat pengguna telepon-kabel nyaman saja dengan persyaratan ini. Orang menganggap bahwa semua tetek-bengek itu merupakan suatu hal yang biasa. Padahal, semua persyaratan tadi adalah manifestasi dari ketidak-percayaan yang tumbuh subur di masyarakat. Menurut cerita teman-teman yang pernah tinggal di negara maju, pemasangan telepon-kabel di rumah segera dilakukan, begitu kita menutup telepon untuk meminta sambungan ke kantor telepon terdekat, tanpa kewajiban menyerahkan dokumen dan pembayaran awal apapun. Begitu juga yang terjadi dengan permintaan pemasangan listrik dan pelayanan publik lainnya di Indonesia, yang selalu dipenuhi dengan aroma distrust. Orang selalu dicurigai, sampai kemudian dalam jangka panjang, terbukti bisa dipercaya. Suatu adegium yang berbeda 180 derajat dengan prinsip presumption of innocence, yang menyatakan bahwa setiap orang layak dipercaya, sampai kemudian terbukti dia tidak bisa dipercaya.



Lantas apa keuntungan yang didapat dengan adanya trust? Stephen M. R. Covey, putera pendekar Stephen R. Covey, penulis The 7 Habits of Highly Effective People, mengatakan bahwa trust selalu meningkatkan kecepatan (speed) dan menurunkan ongkos (cost). Dengan adanya trust, maka speed akan berlipat dan cost akan turun drastis. Banyak contoh dikemukakan Covey Jr., tentang formula diatas. Salah satunya adalah aturan yang keluar setelah terjadi malapetaka 9/11, tentang waktu kedatangan ke airport bila hendak bepergian dengan pesawat, yaitu menjadi 2-3 jam sebelum pesawat berangkat untuk penerbangan internasional atau 1-1/2 jam untuk domestik, plus adanya tambahan security tax. Urutannya adalah, 9/11 mengakibatkan trust menurun, dan kondisi ini jelas menurunkan speed dan menaikkan cost. Covey memang benar, dan kalau rumus ini diterapkan pada cerita-cerita diatas, maka om Bob menerapkan trust yang mempercepat dan mempermurah sistem, sementara pemasangan telepon-kabel dan lamanya pemeriksaan security di bandara justru memperlambat dan mempermahal proses.



Rasa trust yang menguntungkan ini, berlaku pula untuk interaksi kita dalam level personal dengan isteri dan anak-anak, masyarakat dengan tetangga dan komunitas, perusahaan antara atasan dan bawahan. Trust melahirkan produktivitas, dan distrust melahirkan kontra produktif. Hal mustahil hubungan suami-isteri akan terjalin harmonis, bila mereka dipenuhi rasa saling tidak percaya, curiga dan selalu pasang kuda-kuda. Suatu organisasi survive atau bahkan menjadi great bila ada trust diantara para anggota organisasi. Tidak perlu banyak bicara tentang teori managemen dan produktivitas dalam suatu perusahaan bila distrust masih melekat disana-sini. Distrust akan melahirkan organisasi yang high cost dan unproductive. Gonjang-ganjing karena cecak-buaya, bank Century, atau markus juga disebabkan karena saling tidak percaya yang menumpuk tinggi di masyarakat. Tetapi bagaimana trust bisa terjalin? Masih menurut Covey Jr, bahwa trust merupakan perpaduan antara (good) character dan competency. Seorang akuntan yang jujur (berkarakter) dan handal (kompeten), tidak akan dipercaya untuk menjadi engineer karena disana dia kehilangan keahlian yang dibutuhkan. Trust (mempercayai) selalu berkaitan dengan trustworthy (dapat dipercaya). Ia merupakan hubungan timbal balik, dan tidak bisa berdiri sendiri. Kalau anda ingin dipercaya maka anda harus bisa dipercaya.





Transcendent values like trust and integrity literally translate into revenue, profit and prosperity (Patricia Aburdene – Megatrend 2010)





Thomas Merton adalah seorang penulis spiritual Amerika yang banyak membuat esai dan puisi tentang Tuhan dan kehidupan. Dia juga seorang guru besar di St Bonaventura University Amerika. (1915-1968)





Tidak ada komentar:

Posting Komentar