Minggu, 09 Mei 2010

Als Ik Maar Een Ki Hajar Dewantara Man Is

Anda pasti tahu bahwa saya sedang bercanda. Sebetulnya bukan sedang bercanda sepenuhnya, saya hanya ingin ikut merayakan Hari Pendidikan Nasional, tanggal 2 Mei yang lalu, dengan nada sedikit pesimis. Kali ini, saya ingin mengenang Bapak Pendidikan Nasional, Ki Hajar Dewantara. Dan judul diatas saya pleset-kan dari judul karangan Ki Hajar ketika memprotes pemerintah Belanda pada bulan November 1913, yang merayakan besar-besaran 100 tahun “kemerdekaan” Belanda dari penjajahan Spanyol, persis ketika mereka sedang dalam puncak menjajah Nusantara, Indonesia. Artikel Ki Hajar yang menggegerkan itu berjudul Als Ik Eens Nederlander Was (Andai Saya Seorang Belanda), dan menggegerkan pemerintah kolonial Belanda, karena keberanian seorang bumiputera yang menohok kelakuan penjajah langsung ke pusat ulu hatinya. Ki Hajar menulis bahwa sangat tidak pantas pemerintah Belanda merayakan pesta-pora memperingati pembebasan mereka dari penjajah, di negeri dimana mereka sedang menjajah, bahkan menyedot pajak serta upeti dari rakyat yang sedang dijajahnya.

Ki Hajar memang semula seorang aktivis politik. Bersama dengan Douwes Dekker dan Tjipto Mangoenkoesoemo, drop out an Sekolah Dokter Jawa itu mendirikan Indische Partij, yang merupakan partai politik pertama di Nusantara yang beraliran Nasionalisme Indonesia. Sebagai ganjaran dari “pemberontakan” itu, Ki Hajar, yang saat itu baru berumur 24 tahun, dihukum-buang ke Pulau Bangka, tanpa proses peradilan. Dalam masa-masa itu, Ki Hajar terus berbicara, terus menulis, terus mengkritisi, tapi perjoangannya tidak luntur hanya sampai disini. Dari politik, beralih ke ranah pendidikan.


Dimulai pada tanggal 3 Juli 1922, ketika Ki Hajar bersama rekan-rekannya mendirikan Perguruan Nasional Taman Siswa (National Onderwijs Instituut Taman Siswa). Perguruan yang memikirkan bahwa konsep Pendidikan tidak bisa lepas dari Kebudayaan. Perguruan yang mengajarkan bahwa pendidikan harus mempunyai ruh, agar anak-anak bangsa bisa menjadi elemen dari kerangka character and national building. Bukan hanya pendidikan yang mengejar angka-angka dan sederetan prestasi naratif yang kampul-kampul. Selain itu, ada pelajaran luar biasa dari Ki Hajar, yaitu konsep 3N, yaitu niteni, nirokake dan nambahi. Pertama, niteni artinya kita harus sensitif dan jeli mengamati dan mempelajari apa yang sudah, sedang dan akan terjadi, secara teliti dan tepat. Langkah kedua adalah “menirukan” (nirokake) apa yang orang lain sudah sukses melakukannya. Agar tidak selalu berada dibawah orang yang ditirukan, langkah ini harus diikuti dengan nambahi. Ini adalah proses penyempurnaan yang terus menerus harus dilakukan. Tanpa disadari, ini semua adalah konsep managemen modern, yaitu knowledge management plus continuous improvement.


Kembali ke judul renungan diatas, yang kira-kira berarti “Andai Saya Ki Hajar Dewantara”, yang hidup pada zaman kini. Tidak berlebihan kalau saya menduga bahwa Ki Hajar akan sangat sedih dan bahkan mungkin sampai menangis. Ki Hajar harus menyaksikan karut-marut dunia pendidikan nasional yang selama beberapa perioda dipimpin oleh menteri-menteri yang Profesor Doktor. Pendidikan saat ini, nyata-nyata tanpa ruh, tanpa spirit, tanpa passionate, dan, sekali lagi, hanya mengejar angka-angka dan target-target yang sering dikonversi menjadi nilai proyek. Hasilnyapun sangat memprihatinkan. Banyak sekali cerita tragis yang dapat diuraikan disini. Tapi, saya akan cuplik beberapa kisah dari litani yang sangat panjang. Tiga tahun lalu, Agus, seorang anak kelas 5 SD, di pinggiran kota Bandung, melakukan usaha bunuh diri, karena tak tahan menanggung malu, gara-gara terlambat membayar uang prakarya ke sekolahnya senilai hanya Rp 1.750. Baru-baru ini perdebatan tentang Ujian Nasional tak kunjung usai. Meskipun Mahkamah Konstitusi sudah membatalkan hukum tentang keberadaan Ujian Nasional, masalahnya tidak selesai sampai disitu. Masing-masing pihak mempunyai sudut pandang yang berhadapan-hadapan, meskipun dilandasi dengan niat yang sama-sama bukan untuk kepentingan pendidikan bangsa. Hasilnyapun sangat menyedihkan. 294 sekolah di Indonesia tingkat kelulusannya = 0%. Ironisnya, alasan yang keluar adalah bahwa tahun ini hasil Ujian Nasional lebih jelek, karena prosesnya lebih jujur. Lha...? Tawuran diantara mahasiswa merupakan berita yang nyaris setiap hari terdengar dan terlihat di media massa. Ada satu ibukota propinsi di Indonesia Timur, yang akhirnya mempunyai predikat “kota tawuran mahasiswa”, karena memang tawuran antar mahasiswa bisa disaksikan hampir setiap hari. Kota yang semula dijuluki kota Angin Mamiri (AM) untuk menunjukkan keteduhan, kedamaian, dan ketenangan, kini mempunyai kepanjangan lain dari AM, yaitu Amuk Mahasiswa. Dan contoh paling mengejutkan adalah kisah tentang tertangkapnya unsur plagiasi disertasi Doktor dari Institut paling bergengsi di negeri ini, yang dihuni putera-puteri terbaik bangsa Indonesia. Konsep Ki Hajar tentang pendidikan yang mempunyai ruh, pendidikan yang berkebudayaan, pendidikan yang futuristik, terbang entah kemana. Taman Siswa yang melandasi dirinya dengan ajaran-ajaran kearifan lokal, hampir-hampir tanpa gaung, dan semakin jarang orang bicara tentang konsep pendidikan versi Ki Hajar, apalagi memikirkan, alih-alih mencoba melaksanakannya.


Apakah merosotnya pendidikan ini berakibat langsung terhadap keadaan sosial masyarakat? Jawabannya adalah, pasti ya. Apa yang menjadi sebab dan apa akibat, sangat sulit untuk ditentukan. Yang pasti, masyarakat yang merupakan produk dari pendidikan yang centang-perentang akan menjadi masyarakat yang juga amburadul. Dan kita bisa menyaksikan sendiri dalam kehidupan sehari-hari, di depan mata kita, di media massa, di berita-berita on line atau bahkan dari cerita-cerita anak kita sendiri. Untuk tetap masih menyalakan pelita harapan, diantara setumpukan cerita pesimis yang saya kisahkan diatas, saya teringat akan ajaran Ki Hajar yang lain, yang menentramkan pikiran saya, yang tetap membesarkan hati saya akan sebuah cita-cita menuju masyarakat yang gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerta rahardja, meskipun saat ini berada dalam gelombang prahara yang menakutkan, yaitu masyarakat yang tetap saling asih, asah dan asuh. Tidak ada salahnya kalau kita selalu coba melakukannya.

Note :

1. Als Ik Maar Een Ki Hajar Dewantara Man Is = Andai saya Ki Hajar Dewantara

2. Kampul-kampul = terapung-apung dengan ringan, tanpa tahu tempat yang dituju